Pesan Menteri Komunikasi Dan Digital Menghadapi Dominasi Teknologi Di Dunia Pers
Selamat Hari Pers
Hari Pers Nasional kali ini dipenuhi dengan tantangan dan keprihatinan besar. Keprihatinan pada serangan yang tiada henti pada dunia pers.
Pernyataan Menteri Desa tentang wartawan Bodrex dan LSM dan beberapa pejabat publik. Pengusiran jurnalis dari rapat kepresidenan, dan berbagai tekanan kekuasaan yang mencoba menghancurkan pers dalam negeri, karena kekuatan pena yang dahsyat.
Sampai hari ini (9/1) salah satu jurnalis Informatika News Line yang bertugas di Mojokerto juga dipermainkan oleh oknum oknum pemegang hukum di salah satu kantor kepolisian negara, yang tidak faham dengan baik tugas jurnalistik. Sudah lebih dari 2 pekan, sejak (26/01), jurnalis yang selalu memberikan informasi terdepan di informatika News Line mendekam dalam tahanan Polres yang menyedihkan ini.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah di tengah himpitan perekonomian yang gagal dicukupi oleh para penguasa negeri, justru tangan kekuasaan yang arogan bermain-main dengan nasib rakyat yang tertindas. Para oknum penguasa malah memeras rakyat, agar kebutuhan nafsu kehidupan nya terpenuhi. Mereka lupa bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa selalu mengawasi gaya hidup hedonis yang mereka pertontonkan.
Menteri Desa, Seorang Pejabat Publik Meminta Polisi Menangkap Wartawan Bodrek dan LSM, Sebuah Corengan Pada Profesi Jurnalistik, Sebuah kemunduran Demokrasi ? Negara menggunakan pejabat pejabat yang tidak memahami bagaimana Demokrasi Berjalan Dalam Unsur Keterbukaan Publik
Apalagi sekarang pucuk pemerintahan adalah bekas komandan tempur tertinggi Pasukan Khusus. Tidak akan pernah terelakkan bahwa gaya 'militerisme' kadang-kadang muncul tanpa disadari. Pemerintahan sipil berbeda dengan pemerintahan militerisme yang asal perintah sana sini selesai masalah. Bukan itu esensi dari kepemimpinan sipil. Akan tetapi menerima semua perbedaan dan tidak memaksakan kehendak adalah inti esensi kepemimpinan.
Kekuasaan adalah tidak tak terbatas adalah istilah penting yang ada di dalam penjelasan UUD 1945 yang saat ini sudah tidak menjadi bagian dari Undang Undang Dasar Negera Republik. Akan tetapi ancaman gaya militerisme sudah mulai tampak dalam beberapa hari awal kekuasaan Presiden Prabowo Subianto. Menteri yang kondangan ditegur oleh staf atau Menteri lain di depan publik, dengan gaya yang arogan. Seharusnya tidak lah perlu mengarahkan seorang pejabat publik setingkat Menteri dengan cara cara seperti itu.
Eh apa perlu ? Kalau seruan suruh melakukan penangkapan oleh Menteri Desa kepada wartawan Bodrek ? Apa tidak perlu ditegur ?
Hargai dan jangan melukai eksistensi seorang pejabat publik. Seni bicara gaya non militerisme seperti ini perlu dipelajari oleh mereka yang selama bertahun-tahun hidup dalam jalur komando.
Karena itulah gaya kepemimpinan militerisme itu memang tidak disukai dan diminta tidak dijalankan di negara manapun. Bukan berarti Republik menjalankan pemerintahan gaya militerisme, akan tetapi aturan dalam barak barak militer saat ini sering kelihatan muncul di depan publik. Hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Pers menjadi komponen yang memantau dengan ketat hal hal mendasar ini. Jangan sampai kebablasan. Penghargaan pada eksistensi publik sipil dan bukan publik militer harus selalu dikedepankan, tidak harus diberangus.
Pers juga bekerja berdasarkan Undang Undang, setingkat dengan Kementerian Desa yang berteriak teriak menyuruh pihak kepolisian menangkapi para wartawan Bodrek. Para pejabat publik tidak memahami bahwa profesi jurnalis itu memang diamanahkan oleh UUD melalui Undang Undang Pers. Kalau merasa terganggu mungkin lebih elok kalau UU Pers dicabut saja.
Negeri indah ini adalah negeri Bhinneka tunggal Ika, bukan negeri militer, bukan negeri maachstat, kekuasaan, seperti yang ditunjukkan oleh Menteri Desa, akan tetapi negeri rechstaat, negeri hukum. Tidak bisa asal tangkap sana sini dengan kekuasaan saja.
"Tangkap saja Pak...."
" Lah kenapa kok ditangkap ? Kan ada hukum ? Gak bisa asal tangkap...seenak jidat kalian..."
Akan meski demikian harus diperhatikan juga hukum yang bagaimana? Akan tetapi bukan hukum yang dipenuhi dengan manipulasi dan tidak menegakkan kebenaran, seperti yang dipesankan oleh Menteri Komunikasi dan Digital. Meski arahan yang disorot oleh Menteri Komunikasi Dan Digital seharusnya lebih tegas mengarah ke dalam bukan sekedar di permukaan yang hanya berupa wacana.
Karena eksekutif berbeda dengan jurnalisme pers. Pers dan jurnalisme hanya bermain di tataran permukaan semata, menyampaikan fakta dan kebenaran, akan tetapi mengubah sebuah proses kezoliman menjadi yang benar dan hak adalah tugas dari eksekutif, Bu Menteri Komunikasi Dan Digital.
Saat menjadi Menteri, seorang jurnalis seperti Ibu Meutia Hafid dituntut untuk bekerja real, bukan sekedar wacana seperti yang memang ditugaskan oleh undang-undang kepada pers sebagai komponen yang selalu mengangkat wacana untuk pendidikan publik.
Akan tetapi juga jangan lupa bahwa di balik semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu ada semboyan rahasia yang selalu lupa tidak pernah dilihat dan dikaji. Semboyan lanjutan dari Bhinneka Tunggal Ika adalah Tan Hana Dharma Mangrwa.
Tan Hana Dharma Mangrwa maksudnya adalah tidak pernah ada fungsi penciptaan yang mendua. Sebuah semboyan yang sangat dalam dan penuh makna. Bhinneka tunggal Ika di Indonesia berbeda dengan semboyan University In Diversity yang dimiliki oleh Uni Eropa, yang dipastikan mencontek semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di mana letak perbedaannya ?
University in diversity milik Uni Eropa adalah lapis terluar yang dangkal dari nasihat Bhinneka Tunggal Ika. Karena hanya melihat sebuah perbedaan sebagai an sich perbedaan semata. Berbeda dengan Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa, adalah university in diversity yang memahami bahwa segala diversity itu adalah karya Tuhan Yang Maha Esa, yang masing-masing diversity itu memiliki dharma yang tidak mangrwa, tidak mendua. Perbedaan adalah hal yang alami, akan tetapi dibalik nya ada sebuah fungsi yang memang dibuat oleh Sang Pencipta Alam semesta.
Perbedaan mendasar antara Republik dan Uni Eropa adalah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang dimiliki oleh Republik. Kenapa Uni Eropa ? Karena luas Uni Eropa dan Republik adalah setara. Uni Eropa 4,2 juta km persegi, Indonesia kurang lebih 2 juta km persegi, ya beda-beda sedikit lah.
"Beda 2 juta km persegi ya tidak sedikit, " kata Petruk yang belakangan dipelesetkan oleh Hollywood Bikini Button menjadi Patrrik.
"Ah sama teman kan biasa saja lah ... anggap sama saja..." Kata Erik.
Tapi 4,3 juta km persegi Uni Eropa mencakup 27 Negara anggota, sementara Indonesia hanya ada 38 Provinsi.